Thursday, December 29, 2011

Review Buku : Treasure Island



Penulis : Robert Louis Stevenson
Penerbit : Atria
3 stars

Treasure Island…

Hmm.. dari judulnya sudah bisa ditebak kalau ini adalah kisah petualangan. Dan bukan petualangan biasa karena melibatkan perjalanan dengan kapal di tengah lautan dan para bajak laut. Bajak laut? Yup. Tapi, khususnya buat para cewek, jangan membayangkan bajak laut keren layaknya di novel-novel roman, ya. Apalagi kalau dibandingkan bajak laut “menggemaskan” seperti Captain Jack Sparrow dalam trilogi Pirates of The Caribbean. Jauuuhhh...

Kisah dimulai dengan kedatangan seorang bajak laut tua, Billy Bones ke Penginapan Admiral Benbow. Penginapan ini dimiliki pasangan suami istri Hawkins dengan anak laki-laki mereka, Jim. Jim bertugas membantu ayahnya mengelola penginapan mereka. Walau masih remaja, Jim anak yang cukup pintar. Ia bisa melihat kalau Billy selalu gelisah, seolah menantikan atau menghindar dari seseorang. Ternyata, Billy menyimpan sebuah peta harta karun milik Kapten Flint, bajak laut yang paling ditakuti di lautan. Itulah alasan mengapa ia selalu gelisah. Ia takut bajak laut lain akan berusaha merebut peta itu dan membunuhnya.

Malangnya, Billy Bones akhirnya memang terbunuh tapi peta harta karun itu malah jatuh ke tangan Jim. Bagaimana bisa? Kalau diceritakan secara lengkap sepertinya bakal panjang jadi saya akan persilahkan pembaca untuk membaca sendiri bukunya kalau penasaran :D

Singkatnya, setelah mendapatkan peta Jim menceritakan penemuannya kepada Dokter Livesey dan Hakim Trelawney. Dengan membayangkan petualangan yang asyik serta iming-iming harta karun yang menanti, akhirnya Hakim Trelawney membeli sebuah kapal bernama HISPANIOLA dan mengajak Dokter Livesey, Jim serta beberapa pelayan kepercayaannya untuk berlayar ke Pulau Harta yang digambarkan dalam peta.

Nah, di sinilah petualangan dimulai. Diawali perkenalan dengan Long John Silver, bajak laut berkaki satu yang awalnya melamar sebagai juru masak namun ternyata… ah, kalau diceritakan sepertinya kurang seru. Baca sendiri ya? :D

Tapi bukan petualangan biasa yang mereka alami, karena dalam pelayaran ini banyak peristiwa terjadi. Bukan keasyikan petualangan yang mereka dapatkan, malah mereka mengalami pengkhianatan, hampir kehilangan nyawa, terpaksa menghabisi nyawa orang lain serta menyaksikan kepengecutan namun juga keberanian manusia.

Setiap kisah petualangan pasti punya pahlawannya. Dan siapakah pahlawan kita dalam kisah ini? Tentu saja Jim Hawkins. Walau masih sangat muda, Jim membuktikan kalau ia adalah anak pemberani. Entah apa yang akan terjadi kalau Jim tidak ada. Dengan gagah berani ia merebut kapal HISPANIOLA dari tangan para bajak laut dan menemukan Ben Gunn yang nantinya akan menjadi kunci dari akhir petualangan ini.

Jadi, bagaimana akhirnya? Apakah Jim dkk berhasil menemukan harta karun itu? Bagaimana mereka bisa selamat dari tangan para bajak laut? Sekali lagi, jawabannya hanya ada dalam buku yang diterbitkan Penerbit Atria ini. Silahkan membacanya...

Book Review : Letter of Love

Author : Virginia Henley
3,5 stars

I love this book but I think it's a bit too short ;p And, there are some parts of the book which seems a little too rushed for my taste.

I wish Ms. Henley wrote more about Burgundy and Nicholas relationship. I mean, some characters development would be nice, especially if readers could explore more about how the two fell for each other. I mean, they both practically strangers to each other so I guess falling in love would need a little more time and effort, right? ^^

But then again, it IS a short story and Ms. Henley is kind enough to share it as a free eBook. So, who am I to complain? :D

Tuesday, December 20, 2011

Review Buku : Little Men

Penulis : Louisa May Alcott
Penerbit : Atria
5 stars

Juni 1995, aku berkenalan dengan Meg, Jo, Beth & Amy March yang diciptakan oleh Louisa May Alcott dalam Little Women, kisah empat gadis bersaudara dengan kehidupan sederhana di masa perang yang segera menjadi salah satu buku favoritku. Kisah mereka kemudian dilanjutkan dalam Good Wives, mengisahkan kehidupan gadis-gadis March setelah menikah. Setelah menanti sekitar 15 tahun, akhirnya aku kembali bertemu dengan tokoh-tokoh kesayanganku, secara khusus Jo, yang telah menikah dengan Prof. Fritz Bhaer dan memiliki dua anak laki-laki. Dalam Little Men, Jo yang mewarisi Plumfield mengubah rumah warisan bibinya itu menjadi sebuah sekolah asrama khusus untuk anak laki-laki.

Sekarang, mari kita berkenalan dengan anak-anak Plumfield. Yang pertama adalah Franz, keponakan tertua Prof. Bhaer yang berusia enam belas tahun. Emil, adik laki-laki Franz yang bercita-cita menjadi pelaut. Ada pula Demi, keponakan Jo yang pintar dan senang sekali membaca serta adik kembarnya Daisy, si lembut yang senang menjahit dan memasak. Rob, putra tertua Jo dan Prof. Bhaer yang tak bisa diam serta adik bayinya Teddy yang menggemaskan. Dick dengan punggung bungkuk namun jiwanya yang lurus, serta Dolly yang awalnya gagap. Ada Jack yang cerdas dan agak lihai, Ned, si “slebor”, dan George yang terlalu suka makan hingga dijuluki “Stuffy”. Kemudian ada Billy yang berusia tiga belas namun terlihat seperti anak enam tahun, dan akhirnya Tommy si pembuat onar tapi baik hati.

Kisah diawali dengan kedatangan Nat, seorang anak jalanan yang pandai memainkan biola. Nat dikirim oleh Tuan Laurence atau yang lebih dikenal sebagai Paman Laurie oleh anak-anak Plumfield. Awalnya, Nat yang terbiasa hidup sebagai pemusik jalanan cukup sulit beradaptasi di sekolah itu namun berkat kesabaran dan kegigihan Jo serta suaminya, Nat segera menjadi anak yang dapat diandalkan bahkan ia membawa pula temannya sesama anak jalanan, Dan. Proses adaptasi Dan di Plumfield bahkan lebih sulit daripada Nat tapi kasih sayang, kesabaran dan sikap pantang menyerah pasangan Bhaer akhirnya berhasil memenangkan anak ini. Bukan hanya tergerak menolong anak laki-laki, Jo juga membawa Nan, seorang anak perempuan tomboy yang menjadi teman Daisy.

Plumfield mungkin adalah sekolah impian setiap anak di dunia. Di sekolah ini, anak-anak bukan hanya diajarkan untuk bertumbuh secara intelektual namun juga menjadi seseorang yang bermoral, percaya kepada Tuhan dan diri sendiri. Anak-anak bukan hanya belajar di kelas, namun juga dari kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki kebun untuk ditanami, binatang peliharaan, dan museum tempat menyimpan barang-barang yang dianggap sebagai harta karun mereka. Bahkan mereka juga boleh “perang bantal” sekali seminggu selama 15 menit! Benar-benar sekolah yang luar biasa, kan?

Banyak keisengan dan hal-hal menarik terjadi di Plumfield. Hal-hal yang dijamin membuat pembaca tersenyum bahkan tertawa. Ada-ada saja memang tingkah lucu dan lugu anak-anak yang sering kali membuat pusing Bapak & Ibu Bhaer, bahkan tak jarang menimbulkan masalah. Tapi, tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan dengan cinta, kesabaran dan kegigihan.

Namun, Louisa May Alcott mengingatkan aku bahwa hidup bukan hanya tentang senyum dan tawa, tapi juga air mata. Saat ayah Demi, John Brooke, meninggalkan keluarganya untuk selama-lamanya adalah bagian yang membuat aku berurai air mata. Mungkin karena telah mengenal tokoh John dari buku sebelumnya, aku turut merasakan kesedihan keluarga ini. Turut berduka untuk seorang lelaki yang jujur, suami penuh kasih dan ayah penyayang yang harus dipisahkan dari istri & anak-anaknya dengan begitu cepat. Sepertinya sangat kejam, tapi itulah hidup, dan budi baik seseorang akan terus dikenang bahkan saat ia tidak lagi ada di dunia. Mengutip kata-kata Emil, “Paman Fritz memang paling bijaksana, dan Paman Laurie paling menyenangkan, tapi Paman John-lah yang terbaik, dan aku ingin jadi seperti dia daripada jadi pria lain yang pernah kutemui.” Tokoh John Brooke memang tak banyak diceritakan dalam Little Men, tapi bagi yang mengenalnya dalam Little Women & Good Wives pasti akan setuju dengan ucapan Emil tadi.

Little Men adalah kisah klasik yang indah. Banyak pelajaran tentang kehidupan yang kuperoleh, lewat ucapan-ucapan bocah-bocah Plumfield, ungkapan-ungkapan bijaksana Jo dan Prof. Bhaer, bahkan sekelumit kehidupan John Brooke. Ada banyak cinta, kasih sayang, kesabaran, kegigihan, dan sikap pantang menyerah yang dilukiskan dengan sederhana namun indah sehingga tidak terkesan menggurui. Bacalah, dan nikmati pelajaran kehidupan yang disampaikannya.

Review Buku : Where the Mountain Meets the Moon (Tempat Gunung Berjumpa Rembulan)


Penulis : Grace Lin
Penerbit : Atria
5 stars

Saat pertama membuka buntelan kiriman Serambi, aku langsung terpikat dengan penampilan buku ini. Dengan cover glossy yang cantik, ditambah ilustrasi warna warni di beberapa halaman buku, harus kuakui kalau buku ini punya nilai plus bahkan sebelum aku membacanya... (my bad habit, judge the book by it’s cover hehehe..)

Awal membaca, aku mengakui kalau susah berkonsentrasi.. Bukan salah bukunya, tapi mungkin “timing” yang kurang tepat.. Maksud hati ingin membaca buku ini sebagai bacaan akhir tahun, aku mulai membaca tanggal 30 Desember 2010 dan ternyata hanya sanggup membaca 2 hlm. Mengapa? Yah, kesibukan akhir tahun mungkin, ditambah tiba-tiba aku terkena penyakit “malca” alias “malas membaca” hehehe.. Tanggal 3 Januari 2011, akhirnya aku teringat lagi dengan buku yang tertunda ini. Mulailah aku membaca..

Buku ini berkisah mengenai seorang gadis Tiongkok cilik bernama Minli yang tinggal di sebuah desa di kaki gunung Nirbuah bersama Ma & Ba, orangtuanya. Mengapa disebut Gunung Nirbuah? Karena memang gunung itu tandus, tanpa buah. Penduduk desa di kaki gunung sangat miskin, tak terkecuali keluarga Minli. Walau bekerja di sawah setiap hari sejak menjelang matahari terbit sampai terbenam, keluarga ini tetap hidup susah. Minli sebenarnya tidak pernah mengeluhkan keadaan keluarga mereka, tapi ia sedih melihat Ma yang selalu mendesah saat menghidangkan makanan yang seringkali hanya berupa nasi putih. Walau demikian, ia selalu senang saat makan malam tiba. Ba selalu bercerita mengenai berbagai dongeng, terutama dongeng tentang Kakek Rembulan yang dapat mengubah peruntungan.

Suatu hari Minli membeli seekor ikan mas ajaib dari seorang pedangang keliling. Namun karena kemiskinan mereka, ternyata ikan emas tersebut malah menjadi beban keluarga karena menjadi satu lagi mulut yang harus diberi makan. Mulailah Minli memikirkan kondisi keluarga dan bertekad untuk mengubah peruntungan mereka sehingga Ma tidak perlu lagi mendesah sedih dan Ba tidak perlu bekerja keras di sawah setiap hari. Minli memutuskan untuk mencari Kakek Rembulan! Suatu malam, setelah menulis pesan singkat untuk kedua orang tuanya, diam-diam ia pergi dengan membawa peralatan seadanya, berangkat mencari Kakek Rembulan dengan harapan sang kakek mengabulkan permintaanya untuk mengubah peruntungan keluarga.

Nah, disinilah petualangan Minli dimulai.. Perjalanan panjangnya untuk mencari Kakek Rembulan membawanya bertemu dengan Naga yang tak bisa terbang, Harimau Hijau yang kejam, seorang bocah penggembala kerbau, Raja yang suka menyamar dan si kembar Da-A-Fu yang menggemaskan dengan wajah bulat dan pipi kemerahan serta keluarga mereka yang walau miskin namun sangat pemurah. Penasaran dengan akhir kisah Minli? Silahkan baca sendiri bukunya hehehe..

Buku ini indah dengan banyak pesan moral yang bagus. Persahabatan, kasih sayang, dan saling menolong antar sesama. Membaca buku ini, aku merasa terharu dan akhirnya tersenyum bahagia. Terharu saat membaca tentang betapa Minli cilik sangat ingin membahagiakan orang tuanya, saat bocah penggembala yang miskin menolong Minli tanpa mengharap balasan, saat akhirnya kepergian Minli memberikan pelajaran dan mengubah Ma & Ba dan terutama saat keluarga si kembar Da-A-Fu yang sama miskinnya dengan Minli merelakan sedikit bagian baju mereka demi membuatkan baju hangat buat Minli! Oh, aku hampir meneteskan air mata saat membacanya.. Dan puas dengan akhir kisah yang bahagia.. :)

Monday, December 19, 2011

Review Buku : A Wrinkle in Time (Kerutan Dalam Waktu)



Penulis : Madeleine L'Engle
Penerbit : Atria
3 stars

Awal menerima buku ini, aku tidak terlalu optimis akan menikmatinya. Mengapa? Karena aku berpikir kalau aku terlalu “tua” untuk membaca cerita anak-anak. Apalagi buku ini ber-genre fiksi ilmiah, yang jujur saja, bukan genre favoritku ;) Tapi kemudian aku teringat ungkapan “There is a child in everyone”. Aku berpikir, hey, mungkin itu juga berlaku buatku ! Akhirnya, kuputuskan, “why not? Let’s give it a try :).

Buku ini berkisah tentang Margaret “Meg” Murry, anak sulung dengan 2 adik laki-laki kembar dan seorang adik bungsu berusia 5 tahun bernama Charles Wallace. Mr. dan Mrs. Murry, orangtua anak-anak ini, adalah sepasang ilmuwan. Meg sendiri jago matematika, namun selalu bermasalah di sekolah. Semua itu diperparah dengan penampilan yg kurang menarik : kacamata, kawat gigi, dan rambut berantakan. Meg paling sering bermasalah kalau ada yg menghina keluarganya : adiknya Charles Wallace yang dianggap idiot oleh teman dan tetangga, tapi terutama karena ayah mereka yang menghilang tanpa kabar hingga digosipkan minggat dengan wanita lain..

Di suatu malam yang diamuk badai, Meg akan segera mengalami petualangan yang tak 'kan pernah dibayangkannya. Dimulai dengan perkenalannya dengan Mrs. Who, Mrs. Whatsit & Mrs. Which, Meg, Charles Wallace beserta seorang teman sekolah, Calvin memulai petualangan untuk mencari ayahnya yang menghilang dengan menembus ruang, waktu bahkan melintasi dimensi kelima. Bertemu dengan kekuatan jahat yg disebut ITU, yang hanya dapat dikalahkan dengan sesuatu yang Meg miliki tapi belum disadarinya.

Harus kuakui, 100 hlm pertama buku ini belum membuatku terlalu bersemangat, tapi setelah itu aku tidak sanggup meletakkannya! Aku sangat terharu dengan keyakinan Mrs. Murry bahwa suaminya tidak berkhianat dan suatu hari akan pulang, kecintaan Meg pada keluarganya, terutama pada adik bungsunya, Charles Wallace. Bagaimana ia tetap menyayangi dan membela Charles Wallace yang dianggap aneh dan idiot karena tidak berlaku layaknya anak-anak seusianya.. 

Bagian favoritku adalah cara yang akhirnya ditemukan Meg untuk mengalahkan ITU..  
 

Let's Talk About Books Copyright © 2011 Girl Music is Designed by Ipietoon Sponsored by web hosting